Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang
menutup ujung penis, sementara khitan bagi wanita adalah mengambil sedikit
daging di ujung klitoris. Tujuannya adalah untuk menjaga agar di sana tidak
terkumpul kotoran, juga agar leluasa untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi
kenikmatan dalam bersenggama. (Fiqh Sunah, 1/37).
Dalil
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ
بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ
“Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun,
dan beliau berkhitan dengan Al Qodun” (HR. Bukhari)
فَاتَّبِعُوا
مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا
“Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus.”(Ali
Imran: 95). Dengan berkhitan berarti kita meneladani Ibrahim alaihis
salam.
Hukum Khitan
· Wajib
bagi laki-laki dan perempuan (Imam Syafi’i dan Ahmad)
· Sunah
bagi laki-laki dan perempuan (Abu Hanifah dan Malik)
· Wajib
bagi laki-laki dan sunah bagi perempuan (Shohih Fiqh Sunah, I/98)
- Wajibnya Khitan Bagi Laki-Laki
Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi
laki-laki adalah:
1). Hal
ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam dan kita diperintahkan untuk mengikutinya. Rasullullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Ibrahim -Al Kholil-
berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan dengan kampak.” (HR.
Bukhari)
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ أَوْحَيْنَا
إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ
الْمُشْرِكِينَ
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah
agama Ibrahim seorang yang hanif” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan.” (An Nahl: 123)
2). Nabi
memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,
أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ
الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ
“Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan
berkhitanlah.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan
dihasankan oleh Al Albani). Hal ini menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.
3). Khitan
merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nasrani. Sampai-sampai tatkala di
medan pertempuran umat Islam mengenal orang-orang muslim yang terbunuh dengan
khitan. Kaum muslimin, bangsa Arab sebelum Islam, dan kaum Yahudi dikhitan,
sedangkan kaum Nasrani tidak demikian. Karena khitan sebagai pembeda, maka
perkara ini adalah wajib.
4). Menghilangkan
sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru diperbolehkan tatkala
perkara itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh Sunah, I /99 dan Asy
Syarhul Mumthi’, I/110).
- Khitan Tetap Disyariatkan Bagi Perempuan
Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyariatkan.
Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
artinya, “Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR.
Ibnu Majah, shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan.
Adapun hadits-hadits yang mewajibkan khitan, di dalamnya tidaklah lepas dari
pembicaraan, ada yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun hadits-hadits tersebut
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah.
Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib
bagi perempuan sebagaimana diwajibkan bagi laki-laki, karena pada asalnya hukum
untuk laki-laki juga berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang
membedakannya dan dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda. Namun terdapat
pendapat lain yang mengatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah sunah
(dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka.
Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam
kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau mengatakan, “Terdapat
perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan perempuan. Khitan pada laki-laki
terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini akan berkaitan dengan syarat
sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit pada kemaluan yang akan
dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar dari lubang ujung kemaluan
akan ada yang tersisa dan berkumpul pada tempat tersebut. Hal ini dapat
menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika dipencet/ditekan sedikit
akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga pakaian dapat menjadi najis.
Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah untuk mengurangi syahwatnya. Dan
ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka untuk
menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih Fiqh Sunah,
I/99-100 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110).
Kesimpulan: Ada perbedaan
pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan. Minimal hukum khitan bagi
perempuan adalah sunah (dianjurkan) dan yang paling baik adalah melakukannya
dengan tujuan sebagaimana perkataan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk
mengurangi syahwatnya.
Waktu Khitan
Hadits dari Jabir radhiallahu ‘anhu, beliau
berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqah
Hasan dan Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh (setelah
kelahiran,-pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Ada
tujuh sunah bagi bayi pada hari ketujuh, yaitu: pemberian nama, khitan,…” (HR.
Ath Thabrani dalam Al Ausath)
Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun
saling menguatkan satu dan lainnya. Jalur keduanya berbeda dan tidak ada perawi
yang tertuduh berdusta di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68).
Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum
baligh. Sebagaimana perkataan Ibnul Qoyyim: “Orang tua tidak boleh
membiarkan anaknya tanpa dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul
Minnah, 1/69).
Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak
masih kecil agar luka bekas khitan cepat sembuh dan agar anak dapat berkembang
dengan sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu,
khitan pada waktu kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan
ketika sudah besar.
Dari artikel 'Berhiaslah Dengan Sunah-Sunah Fitrah (1) — Muslim.Or.Id'
Perayaan Khitan
Tidak ada hadits shahih yang menganjurkan perayaan
dalam rangka khitan, tidak pula terdapat atsar dari perbuatan para sahabat yang
melakukan itu, jadi perayaan khitan tidak memiliki dasar dalam syariat yang
suci. Adapun berbahagia dengan momentum khitan maka ia termasuk perkara yang
disyariatkan, dan tidak mengapa membuat makanan sekedarnya sebagai wujud syukur
kepada Allah.
Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah nomor 2392 pertanyaan pertama, “Apa hukum menari, merayakan dan berbahagia dalam rangka khitan?”
Jawab, Adapun menari dan merayakan maka kami tidak mengetahui dasarnya dalam syariat yang suci, adapun berbahagia dengan khitan maka ia disyariatkan karena khitan termasuk perkara-perkara yang disyariatkan, Allah Ta’ala telah berfirman,
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا [يونس : 58]
“Katakanlah, ‘Dengan karunia Allah dan rahmatNya, hendaknya dengan itu mereka bergembira.” (Yunus: 58). Khitan termasuk karunia dan rahmat Allah, dan tidak mengapa membuat makanan dalam rangka ini sebagai ungkapan syukur kepada Allah atas hal itu. Selesai.
Bagaimana dengan seseorang yang masuk Islam dalam
usia dewasa dan khitan berat atasnya, apakah dia harus berkhitan atau khitan
gugur darinya?
Pertanyaan ini dijawab oleh al-Lajnah ad-Daimah, segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada rasulNya, keluarga dan para sahabatnya, jika khitan berat atasnya setelah dia masuk Islam karena usianya yang tua maka ia gugur darinya, dia tidak dibebani berkhitan, karena dikhawatirkan hal itu menjadi sebab penolakannya untuk masuk Islam.
Dari artikel Khitan - http://www.alsofwah.or.id